KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA (KDRT)
Undang – Undang RI Nomor 23
Tahun 2004
Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan
perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan
organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang
memimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga
terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki
hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian
dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga. Sebuah
keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang
ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan
terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang
tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah
tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam
rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah
mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan
menyelesaikan hal tersebut.
Mengapa Pemerintah menerbitkan Undang-Undang RI Nomor 23 tahun
2004 tentang Penghapusan KDRT, padahal itu hanya urusan rumah tangga atau
domestik saja?
Pemerintah menerbitkan UU tentang KDRT dengan menimbang antara
lain :
1.
Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas
dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD NKRI
tahun 1945;
2.
Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus;
3.
Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan
perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau terhindar dan
terbebeas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan
yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;
4.
Bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga
masih banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
I.
Apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam
Rumah Tangga ?
Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU ini adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama PEREMPUAN, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Penghapusan KDRT adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah
terjadinya KDRT, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban KDRT.
II.
Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah
Tangga ?
Bentuk – bentuk KDRT yaitu :
1.
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
2.
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
3.
Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap :
a. Orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga;
b. Salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
4.
Penelantaran rumah tangga, setiap orang dilarang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum atau karena perjanjian ia
wajib untuk memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan.
III.
Apakah faktor-faktor penyebab Kekerasan
dalam Rumah Tangga ?
Sebagian besar timbulnya KDRT adalah lebih banyak disebabkan karena
faktor ekonomi, baik dalam kondisi ekonomi yang sudah mapan/kuat maupun ekonomi
pas-pasan/lemah. Hal yang membedakan diantara keduanya bahwa dalam hal
ekonomi lemah permasalahannya lebih kepada karena keatidakcukupan penghasilan;
sebaliknya dalam hal ekonomi yang sudah mapan/kuat adalah justru karena
implikasi dari kelebihan materi dan konflik terjadi, misalnya, karena pelaku
telah memiliki pasangan lain atau terjadinya perselingkuhan.
Hasil penelitian juga menggambarkan bahwa diantara kasus-kasus KDRT,
yang paling banyak terjadi adalah konflik antara suami dan isteri
ketimbang kasus orang tua dan anak, majikan dan pembantu, dan bentuk kasus KDRT
yang lain. Dikarenakan seorang istri yang terlalu banyak menuntut dalam
hal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, baik dari kebutuhan sandang pangan
maupun kebutuhan pendidikan.
Faktor utama
terjadinya kasus KDRT adalah dominasi suami terhadap istri dan faktor ekonomi. Kekerasan ekonomi yang
dialami korban sebagian besar adalah tidak diberi nafkah untuk biaya hidup
sehari-hari, dalam bentuk lainnya adalah korban ditelantarkan suaminya yakni
ditinggal pergi oleh suaminya sehingga otomatis juga tidak diberi nafkah.
Penelantaran yang dilakukan oleh suami ini banyak dilatarbelakangi oleh adanya
pihak ketiga (perselingkuhan). Dalam beberapa kasus kekerasan ekonomi
(penelantaran) terdapat korban (perempuan) yang akhirnya sampai menjadi PSK
(pekerja seks komersial), karena dia harus menanggung biaya hidup dirinya dan
anak-anak yang tinggal bersamanya.
Beberapa penyebab terjadinya
kekerasan terhadap perempuan antara lain karena beberapa hal berikut:
1. Adanya pengaruh dari budaya patriarki yang ada
ditengah masyarakat. Ada semacam hubungan
kekuasaan di dalam rumah tangga yang menempatkan perempuan pada posisi
yang lebih rendah daripada laki-laki.
2. Adanya pemahaman ajaran agama yang keliru. Pemahaman yang
keliru seringkali menempatkan
perempuan (istri) sebagai pihak yang berada bawah kekuasaan laki-laki (suami),
sehingga suami menganggap dirinya berhak melakukan apapun
terhadap istri. Misalnya,
pemukulan dianggap sebagai
cara yang wajar dalam ”mendidik” istri.
3. Prilaku
meniru yang diserap
oleh anak karena
terbiasa melihat kekerasan dalam rumah
tangga. Bagi anak,
orang tua merupakan
model atau panutan untuk anak. Anak memiliki
kecenderungan untuk meniru prilaku kedua orang tuanya dalam menyelesaikan suatu
permasalahan. Anak yang terbiasa melihat kekerasan menganggap bahwa kekerasan
adalah suatu penyelesaian permasalahan
yang wajar untuk dilakukan. Hal ini akan dibawa hingga anak- anak menjadi
dewasa.
4. Tekanan hidup yang dialami seseorang. Misalnya,
himpitan ekonomi (kemiskinan), kehilangan
pekerjaan (pengangguran), dan
lain sebagainya. Hal-hal tersebut memungkinkan seseorang
mengalami stress dan
kemudian dapat memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Beberapa
penyebab diatas bukanlah penyebab mutlak terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga. Di luar dari beberapa penyebab
yang telah disebutkan diatas, pasti masih ada lagi beberapa sebab
yang lain yang memicu munculnya
kekerasan pada perempuan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Namun demikian,
terlepas dari apapun penyebabnya, dampak dari kekerasan dalam rumah tangga
tentu sangat luas. Dampak yang dirasakan tidak hanya pada perempuan korban secara langsung, namun juga berdampak pada
anak-anak.
IV.
Bagaimana cara penanggulangan Kekerasan
dalam Rumah Tangga ?
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan
cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada
agamanya sehingga Kekerasan
dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh
kesabaran.
b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan
tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga
antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga
yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada
keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi
pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya
antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada
rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak
ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih
dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam
keluarga, sehingga seorang
istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga
kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
Di dalam sebuah rumah
tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta
sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan
diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan
dalam rumah tangga.
Keterlambatan
dalam melaporkan kasus juga tidak terlepas faktor psikis korban,
karena malu, takut kehilangan nafkah dan diceraikan suaminya. Keterlambatan
mengadukan juga membuka pelaung kasus yang sama terjadi berulang-ulang, karena
dalam menangani kasus KDRT butuh waktu lama.
Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut
dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal
perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman
terhadap korban serta menindak pelakunya.
UU PKDRT secara substanstif memperluas
institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT,
yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan atau pihak lainnya, baik perlindungan sementara maupun berdasarkan
penetapan pengadilan.
V.
Apakah perlindungan bagi korban KDRT?
Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban
yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksanaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan pengadilan.
Upaya untuk
mengefektifkan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga
dengan cara didampingi oleh segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa
aman, kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga
sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atua pihak lainnya baik sementara
maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Perlindungan dalam UU NO. 23 tahun
2004 pasal 16 sampai dengan pasal 38 dimaksudkan untuk melindungi hak-hak dari
korban yang merupakan bagian dari hak asasi manusia untuk bebas dari rasa
takut, mendapatkan rasa aman serta bebeas dari bentuk segala kekerasan.
VI. Pembuktian pada Kasus KDRT
Mengenai
pembuktian dalam kasus KDRT dikatakan oleh UU KDRT, keterangan seorang saksi
korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, dapat juga
disertai dengan alat bukti sah lainnya yaitu :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Mengenai laporan atau aduan ke polisi,
sebenarnya tidak perlu disertai dengan bukti-bukti terlebih dahulu melainkan
hanya bersifat laporan baik secara lisan maupun tertulis atas suatu tindak
pidana. Namun, pada prakteknya polisi akan meminta barang bukti yang ada untuk
melakukan penyelidikan maupun penyidikan. Dalam hal akan dilakukan penangkapan
terhadap tersangka pelaku tindak pidana, kemudian diperlukan bukti permulaan
yang cukup (lihat Pasal 17 UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yaitu alat bukti untuk
menduga adanya suatu tindak pidana dengan menyaratkan ada minimal laporan
polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP.
Mengenai rekaman pembicaraan melalui
telepon sebagai barang bukti, sejak diterbitkannya UU
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”),
jenis alat bukti dalam pembuktian perkara pidana lebih diperluas. Alat bukti
yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP hanya terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa. Dengan adanya UU ITE ini segala macam
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya dapat
dijadikan sebagai alat bukti hukum yang sah, termasuk rekaman pembicaraan
melalui telepon (lihat Pasal 5 UU ITE).
Namun, dalam proses pembuktiannya perlu dibuktikan lebih jauh apakah bukti
rekaman tersebut asli atau hasil duplikasi. Menyikapi masalah ini, perlu
dilakukan audit atas sistem informasi.
VII. Jika terjadi KDRT dilingkungan kita,
masyarakat harus bersikap bagaimana?
Kewajiban
kita sebagai masyarakat jika mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya
KDRT, maka sebatas kemampuan kita wajib :
a. Mencegah
berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan
perlindungan kepada korban;
c. Memberikan
pertolongan darurat;
d. Membantu
proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Proses
pelaporan KDRT :
a. Korban KDRT
dapat melaporkan sendiri langsung atas kekerasan yang terjadi ke Kepolisian di
tempat korban berada atau di tempat kejadian perkara.
b. Korban
memberi kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan adanya KDRT ke
Kepolisian.
KDRT merupakan delik laporan yaitu dapat dilaporkan
oleh siapa saja dan dapat diproses secara pidana. Namun, dalam beberapa kasus
KDRT ringan dan yang berkaitan dengan seksualitas yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan bagi anggota keluarga yang dianiaya untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, perbuatan
tersebut dikategorikan delik aduan (lihat Pasal 52, Pasal 52, dan
Pasal 53 UU KDRT). Dalam hal ada pencabutan aduan, pemeriksaan perkara akan
dihentikan. Pada prinsipnya, perceraian tidak membatalkan laporan kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT). Berdasarkan UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU
KDRT”), KDRT merupakan delik laporan yaitu dapat dilaporkan oleh siapa saja
dan dapat diproses secara pidana, terpisah dari perkara perdatanya
(perceraian).
Kementerian
Hukum dan HAM mencatat 919 kasus
kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Indonesia sepanjang Januari-Maret
2013. Sebanyak 25 persen korbannya adalah perempuan.Tingginya kasus KDRT
karena masih lemahnya posisi perempuan dan juga taraf pendidikannya yang masih
rendah. Korban dari KDRT tidak hanya dari kalangan perempuan saja, tapi juga
dialami oleh anak-anak. Penyebabnya karena faktor ekonomi dan kurangnya
kesadaran hukum. Faktor lainnya adalah budaya patriaki dimana sebagian
masyarakat masih menganggap laki-laki lebih tinggi derajatnya dibanding
perempuan.
Kementerian
Hukum dan HAM terus berupaya menekan bahkan menghapus tindak KDRT di kalangan
masyarakat melalui sosialisasi dan pehamanan hukum dalam arti seluas-luasnya.
Dengan adanya sosialisasi itu, diharapkan pehamanan hukum masyarakat dapat
lebih membaik dan tindak KDRT secara perlahan bisa berkurang.